Idris (66), sudah dua tahun mendiami gubuk seukuran 2×2 meter. Sebelumnya, pria asal Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, hidup bersama istri di Kelurahan Mesat, Kecamatan Lubuklinggau Timur II, Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Namun, sejak istri dan anaknya meninggal, dia pindah ke Kelurahan Petanang Ilir, Kecamatan Lubuklinggau Utara I, tempat dia tinggal sekarang.
“Pondok yang saya tempati menumpang di tanah orang,” ujarnya, Kamis (26/10/2017). “Sejak tinggal disini, saya menikah lagi dengan Evi, warga sinilah.”
Untuk kebutuhan sehari-hari, Idris mengandalkan istri (yang mengalami kekurangan komunikasi-maaf), bekerja upahan merumput di kebun warga sekitar, dengan penghasilan berkisar Rp25 ribu sehari.
Tapi, itupun tidak setiap hari ada orang yang meminta tolong merumput. Bila begitu, mereka suami istri pasrah dengan keadaan. Karena, Idris yang sudah tua dan sakit-sakitan, sudah tidak kuat mencari nafkah. Pernah ketika Idris sakit, mereka tidak punya uang buat beli obat.
Tapi dalam kondisi begini, syukurlah yang punya tanah, sering membantu memberi beras. Untuk lauk, kalau tidak dibantu tetangga, daun ubi dan sambal sudah menjadi makanan keseharian, bahkan pernah, mereka makan cuma pakai garam saja.
Sekarang, suami istri yang sejak kecil sudah sebatang kara, sangat berharap ada yang peduli dengan kondisi mereka. “Kami hidup cuma menunggu mati saja,” ungkapnya. “Sebelum ajal, kami berharap bantuan untuk memindahkan kami ke panti jompo.”
Pantauan, pondok ditempati Idris dan Evi, cukup untuk tidur mereka berdua saja. Keperluan memasak dan kebutuhan rumah tangga lain, dilakukan di luar pondok. “Untuk minum, kami minta air sumur dari yang punya tanah,” bebernya. “Kalau mandi (MCK), kami memanfaatkan siring di sebelah pondok ini.” (Rudi Rediansyah)